Rabu, 19 Mei 2010

FIQIH NIKAH


Proses mencari jodoh dalam Islam bukanlah “membeli kucing dalam karung” sebagaimana sering dituduhkan. Namun justru diliputi oleh perkara yang penuh adab. Bukan “coba dulu baru beli” kemudian “habis manis sepah dibuang”, sebagaimana jamaknya pacaran kawula muda di masa sekarang.
Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tatacara ataupun proses sebuah pernikahan yang berlandaskan Al-Qur’an dan As-sunnah yang shahih. Berikut ini kami bawakan perinciannya:

1. Mengenal calon pasangan hidup
Sebelum seorang lelaki meutuskan untuk menikahi seorang wanita, tentunya ia harus mengenal terlebih dahulu siapa wanita lelaki yang berhasrat menikahinya. Tentunya proses kenal-mengenal ini tidak seperti yang dijalani orang-orang yang tidak paham agama. Sehingga mereka menghalalkan pacaran atau pertunangan dalam rangka penjajakan calon pasangan hidup, kata mereka. Pacaran dan pertunangan haram hukumnya tanpa kita sangsikan.
Adapun mengenali calon pasangan hidup di sini maksudnya adalah mengetahui siapa namanya, asalnya, keturunannya, keluarganya, akhlaknya, agamanya, dan informasi lain yang memang dibutuhkan. Ini bisa ditempuh dengan mencari informasi dari ketiga, baik dari kerabat si lelaki atau si wanita ataupun dari orang lain yang mengenali si lelaki/si wanita. Yang perlu menjadi perhatian, hendaknya hal-hal yang bisa menjatuhkan kepada fitnah (godaan setan) dihindari kedua belah pihak seperti bermudah-mudahan melakukan hubungan telepon, sms, surat-menyurat, dengan alas an ingin ta’aruf (kenal-mengenal) dengan calon suami/istri.
Jangankan baru ta’aruf, yang sudah esmi meminang pun harus menjaga dirinya dari fitnah.
Karenanya, ketika Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah ditanya tentang pembicaraan melalui telepon antara seorang pria dengan seorang wanita yang telah dipinangnya, beliau menjawab, “Tidak apa-apa seorang laki-laki berbicara lewat telepon dengan seorang wanita yang telah dipinangnya, bila memang pinangannya telah diterima dan pembicaran yang dilkaukan dalam rangka mencari pemahaman sebatas kebutuhan yang ada, tanpa adanya fitnah. Adapun pembicaraan yang biasa dilakukan laki-laki dengan wanita antara pemuda dan pemudi, padahal belum berlangsung pelamaran di antara mereka. Namun tujuanya untuk saling mengenal. Sebagaimana yan mereka istilahkan maka ini munkar, haram bisa mengarah kepada fitnah serta menjerumuskan kepada perbuatan keji. Allah berfirman: “Maka janganlah kalian tunduk (lembut mendayu-dayu) dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang di hatinya ada penyakit dan ucapkanlah ucapan yang ma’ruf.” (QS. Al-Ahzab: 32) Seorang wanita tidak sepantasnya berbicara dengan laki-laki ajnabi kecuali bila ada kebutuhan dengan mengucapkan perkataan yang ma’ruf, tidak ada fitnah di dalmanya dan tidak ada keraguan (yang membuatnya dituduh macam-macam).” (Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan 3/163-164) Beberapa Hal yang Perlu Diperhatikan Ada beberapa hal yang disenangi bagi laki-laki untuk memerhatikannya: -Wanita itu shalihah, karena Nabi bersabda: “Wanita itu (menurut kebiasaan yang ada) dinikahi karena empat perkara, bisa jadi karena hartanya, karena keturunanya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah olehmu anita yang memiliki agama. Bila tidak, engkau celaka.” (HR. Al-Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 3620 dari Abu Hurairah) -Wanita itu subur rahimnya.
Tentunya dapat diketahui dengan melihat ibu atau saudara perempuannya yang telah menikah.
Rasulullah pernah bersabda: “Nikahilah oleh kalian wanita yang penyayang lagi subur, karena aku berbangga-bangga di hadapan umat yang lain pada kiamat dengan banyaknya jumlah kalian.” (HR. An-Nasa’i no. 3227, Abu Dawud no. 1789, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil no. 1784) -Wanita tersebut masih gadis yang dengannya akan dicapai kedekatan yang sempurna.(namun bukan berarti janda terlarang baginya, karena dari keterangan di atas Rasulullah memperkenankan Jabir memperistri seorang janda. Juga, semua istri Rasulullah dinikahi dalam keadaan janda, kecuali Aisyah) Jabir bin Abdillah ketika memberitakan kepada Rasulullah bahwa ia telah menikah dengan seorang janda, beliau bersabda yang artinya: “Mengapa engkau tidak menikah dengan gadis hingga engkau bisa mengajaknya bermain dan dan dia bisa mengajakmu bermain.” Namun ketika Jabir mengemukakan alasannya bahwa ia memiliki banyak saudara perempuan masih belia. Sehingga ia enggan mendatangkan di tengah mereka perempuan yang sama mudanya dengan mereka sehingga tak bisa mengurusi mereka. Rasulullah memujinya, “Benar, apa yang engkau lakukan.” (HR. Al-Bukhari no. 5080, 4052 dan Muslim no. 3622, 3624) “Hendaklah kalian menikah dengan para gadis karena mereka lebih segar di mulutnya, lebih banyak anaknya, dan lebih ridha dengan yang sedikit.” (HR. Ibnu Majah no. 1861, dihasankan Al-Imam Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 623)

2. Nazhor (melihat calon pasangan hidup)

Seorang wanita pernah datang kepada Rasulullah untuk menghibahkan dirinya. Si wanita berkata: “Wahai Rasulullah ! Au datang untuk mengibahkan diriku kepadamu.” Rasulullah pun melihat ke arah wanita tersebut. Beliau mengangkat dan menurunkanpandangannya kepada si wanita. Kemudian beliau menundukkan kepalanya. (HR. Al-Bukhari no. 5087 dan Muslim no. 3472) Hadits ini menunjukkan bila seorang lelaki ingin menikahi seorang wanita maka dituntunkan baginya untuk terlebih dahulu melihat calonnya tersebut dan mengamatinya. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/215-216) Oleh karena itu, ketika seorang sahabat ingin menikahi wanita Anshar, Rasulullah menasihatinya: “Lihatlah wanita tersebut, karena pada mata orang-orang Anshar ada sesuatu.” Yang beliau maksudkan adalah mata mereka kecil. (HR. Muslim no. 3470 dari Abu Hurairah)
Demikian pula ketika Al-Mughirah bin Syu’bah meminang seorang wanita. Rasulullah bertanya kepadanya, “Apakah engkau telah melihat wanita yang engkau pinang tersebut ?” Belum,” jawab Al-Mughirah.
Rasulullah bersabda: “Lihatlah wanita tersebut, karena dengan seperti itu akan lebih pantas untuk melanggengkan hubungan di antara kalian berdua (kelak).” (HR. An-Nasa’i no. 3235, At-Tirmidzi no. 1087. Dishahihkan Al-Imam Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 98) Al-Imam Al-Baghawi berkata, “Dalam sabda Rasulullah kepada Al-Mughirah: “Apa engkau telah melihat wanita yang engkau pinang tersebut ?” ada dalil bahwa sunnah hukumnya ia melihat si wanita sebelum khitbah (pelamaran), sehingga tidak memberatkan si wanita bila ternyata ia membatalkan khitbahnya karena setelah nazhor ternyata ia tidak menyenangi si wanita.” (Syarhus Sunnah 9/18) Bila nazhor dilakukan setelah khitbah, bisa jadi dengan khitbah tersebut si wanita merasa si lelaki pasti akan menikahinya. Padahal mungkin ketika si lelaki melihatnya ternyata tidak menarik hatinya lalu membatalkan lamarannya, hingga akhirnya si wanita kecewa dan sakit hati. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/214) Sahabat Muhammad bin Maslamah berkata, “Aku meminang seorang wanita, maka aku bersembunyi untuk mengintainya hingga aku dapat melihatnya di sebuah pohon kurmanya,” Maka ada yang bertanya kepada Muhammad, “Apakah engkau melakukan hal seperti ini padahal engkau adalah sahabat Rasulullah ?” kata Muhammad, “Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: “Apabila Allah melemparkan di hati seorang lelaki (niat) untuk meminang seorang wanita maka tidak apa=apa baginya melihat wanita tersebut.” (HR. Ibnu Majah no. 1864, dishahihkan Al-Imam Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah dan Ash-Shahihah no. 98) Al-Imam Al-Albani berkata, “Boleh melihat wanita yang ingin dinikahi walaupun si wanita tidak mengetahuinya ataupun tidak menyadarinya.” Dalil dari hal ini sabda Rasulullah : “Apabila seorang dari kalian ingin meminang seorang wanita, maka tidak ada dosa baginya melihat si wanita apabila memang tujuan melihatnya untuk meminangnya, walaupun si wanita tidak mengetahui (bahwa dirinya sedang dilihat).” (HR. Ath-Thahawi, Ahmad 5/424 dan Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jamul Ausath 1/52/1/898, dengan sanad yang shahih, lihat Ash-Shahihah 1/200) Pembolehan melihat wanita yang hendak dilamar walaupun tanpa sepengetahuan dan tanpa seizinnya ini merupakan pendapat yang dipegangi jumhur ulama. PERHATIAN !!! Rukhshah ini HANYA KHUSUS bagi LELAKI yang telah berketetapan hati untuk meminang wanita tersebut. TIDAK DILAKUKAN TERHADAP SEMUA WANITA. Adapun Al-Imam Malik dalam satu riwayat darinya mengatakan, “Aku tidak menyukai bila si wanita dilihat dalam keadaan ia tidak tahu karena khawatir pandangan kepada si waita terarah kepada aurat.” Dan dinukilkan dari sekelompok ahlul ilmi bahwasanya tidak boleh melihat wanita yang dipinang sebelum dilangsungkannya akad karena si wanita masih belum jadi istrinya. (Al-Hawil KAbir 9/35, syarhul Ma’anil Atsar 2/372, Al-Minhaj syarhu Shahih Muslim 9/214, Fathul Bari 9/158) Haramnya Berduaan dan Bersepi-sepi tanpa Mahram ketika Nazhar Sebagai catatan yang harus menjadi perhatian bahwa ketika nazhar tidak boleh lelaki tersebut berduaan saja dan bersepi-sepi tanpa mahram (berkhalwat) dengan si wanita. Karena Rasulullah ersabda: “Sekali-kali tidak boleh seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1862 dan Muslim no. 3259) Karenanya si wanita harus ditemani oleh salah seorang mahramnya, baik saudara laki-laki atau ayahnya. (Fiqhun Nisa’ fil Khithbah waz Zawaj, hal. 28) Bila sekiranya tidak memungkinkan baginya melihat wanita yang ingin dipinang boleh ia mengutus seorang wanita yang terpercaya guna melihat/mengamati wanita yang ingin dipinang untuk kemudian disampaikan kepadanya. (An-Nazhar fi Ahkamin Nazhar bi Hassatil Bashar, Ibnu Qaththan Al-FAsi hal. 394, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/214, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/280)
Batasan yang Boleh Dilihat dari Seorang Wanita Ketika nazhar, bleh melihat si wanita pada bagian tubuh yang biasa tampak di depan mahramnya. Bagian ini biasa tampak dari si wanita ketika ia sedang bekerja di rumahnya; seperti wajah, dua telapak tangan, leher, kepala, dua betis, dua telapak kaki, dan semisalnya. Karena adanya hadits Rasulullah: “Bila seorang dari kalian meminang seorang wanita, lalu ia mampu melihat dari si wanita apa yang mendorongnya untuk menikahinya, maka hendaklah ia melakukannya.” (HR. Abu Dawud no. 2082 dihasankan Al-Imam Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 99) Di samping itu, dilihat dari adapt kebiasaan masyarakat, melihat bagian-bagian itu bukanlah sesuatu yang dianggap memberatkan atau aib.
Juga dilihat dari pengamalan yang ada pada para sahabat. Sahabat Jabir bin Abdillah ketika melamar seorang perempuan, ia pun bersembunyi untuk melihatnya hingga ia dapat melihat apa yang mendorongnya untuk menikahi si gadis. Karena mengamalkan hadits tersebut.
Demikian juga Muhammad bin Maslamah sebagaimana telah disinggung di atas. Sehingga cukuplah hadits-hadits ini dan pemahaman sahabat sebagai hujjah untuk membolehkan seorang lelaki untuk melihat lebih dari sekedar wajah dan dua telapak tangan. Hal tersebut berdasar kisah Amirul Mukminin Umar ibnul Khaththab yang menyingkap dua betis Ummu Kultsum bintu Ali bin Abi Thalib yang hendak dinikahinya. Namun kisah tersebut adalah kisah yang dhaif (lemah). Sebab pada sanadnya terdapat irsal dan inqitha’. (Adh-Dha’ifah, bahasan hadits no.1273) Al-Imam Ibnu Qudamah berkata, “sisi kebolehan melihat bagian tubuh si wanita yang biasa tampak adalah ketika Nabi mengizinkan melihat wanita yang hendak dipinang dengan tanpa sepengetahuannya.
Dengan dimikian diketahui bahwa beliau mengizinkan melihat bagian tubuh si wanita yang memang biasa terlihat karena tidak mungkin yang dibolehkan hanya melihat wajah saja padahal ketika itu tampak plabagian tubuhnya yang lain, tidak hanya wajahnya.
Karena bagian tubuh tersebut memang biasa terlihat. Dengan demikian dibolehkan melihatnya sebagaimana dibolehkan melihat wajah. Dan juga karena si waita boleh dilihat dengan perintah penetap syariat berarti dibolehkan melihat bagian tubuhnya. Sebagaimana yang dibolehkan kepada mahram-mahram si wanita.” (Al-Mughni, fashl Ibahatun Nazhar Ila Wajhil Makhthubah) Memang dalam masalah batasan yang boleh dilihat ketika nazhor ini didapatkan adanya perselisihan pendapat di kalangan ulama. Bahkan Al-Imam Ahmad rahimahullah sampai memiliki bebrapa riwayat dalam masalah ini, di antaranya: Pertama: Yang boleh dilihat hanya wajah si wanita saja. Kedua: Wajah dan dua telapak tangan. Sebagaimana pendapat ini juga dipegangi oleh Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Syafi’iyyah. Ketiga: boleh dilihat bagian tubuhnya yang biasa tampak di depan mahramnya dan bagian ini biasa tampak dari si wanita ketika ia sedang bekerja di rumahnya seperti wajah, dua telapak tangan, leher, kepala, dua betis, dua telapak kaki, dan semisalnya. Tidak boleh dilihat bagian tubuhnya yang biasanya tertutup seperti bagian dada, punggung, dan semisal keduanya. Keempat: Seluruh tubuhnya boleh dilihat, selain dua kemaluannya. Dinukilkan pendapat in idari Dawud Azh-Zhahiri. Kelima: boleh melihat seluruh tubuhnya tanpa pengecualian. Pendapat ini dipegangi pula oleh Ibnu Hazm da ndicondongi oleh Ibnu Baththal serta dinukilkan juga dari Dawud Azh-Zhahiri. PERHATIAN Tentang pendapat Dawud Azh-Zhahiri di atas, Al-Imam An-NAwawi berkata bahwa pendapat tersebut adalah suatu kesalahan yang nyata. Yang menyelisihi prinsip Ahlus Sunnah. Ibnul Qaththan menyatakan: “Ada pun sau’atan (yakni qubul dan dubur) tidak perlu dikaji lagi bahwa keduanya tidak boleh dilihat. Apa yang disebutkan bahwa Dawud membolehkan melihat kemaluan, kami sendiri tidak pernah melihat pendapatnya secara langsung dalam buku-buku murid-muridnya. Itu hanya sekedar nukilan dari Abu Hamid Al-Isfirayni. Dan telah kami kemukakan dalil-dalil yang melarang melihat aurat.” Sulaiman At-Taimi berkata: “Bila engkau mengambil rukhshah (pendapat yang ringan) dari setiap orang alim, akan terkumpul pada dirimu seluruh kejelekan.” Ibnu Abdil Barr berkata mengomentari ucapan Sulaiman At-Taimi di atas: “Ini adalah ijma’ (kesepakatan ulama), aku tidak mengetahui adanya perbedaan dalam hal ini.” (Shahih Jami’Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 359) Selain itu ada pula pendapat berikutnya yang BUKAN merupakan pendapat Al-Imam Ahmad: Keenam: Boleh melihat wajah, dua telapak tangan dan dua telapak kaki si wanita.
Demikian pendapat Abu Hanifah dalam satu riwayat darinya.
Ketujuh: Boleh dilihat dari si wanita sampai ke tempat-tempat daging pada tubuhnya. Demikian kata Al-Auza’i. (An-Nazhar fi Ahkamin NAzhar hal. 392-393 & Fiqhun Nazhar hal. 77-78) Al-Imam Al-Albani menyatakan bahwa riwayat yang ketiga lebih mendekati zahir hadits dan mencocoki apa yang dilkaukan oleh para sahabat. (Ash-Shahihah, membahas hadits no. 99)

3. Khithbah (peminangan)

Seorang lelaki yang telah berketetapan hati untuk menikahi seorang wanita, hendaknya meminang wanita tersebut kepada walinya.
Apabila seorang lelaki mengetahui wanita yang hendak dipinangnya teah terlebih dahulu dipinang oleh lelaki lain dan pinangn itu diterima, maka haram baginya meminang waita tersebut. KArena Rasulullah pernah bersabda: “Tidak bleh seorang meminang wanita yang telah dipinagn oleh saudaranya hingga saudaranya itu menikahi si wanita atau meninggalkannya (membatalkan pinangannya).” (HR. Al-Bukhari no. 5144) Dalam riwayat Muslim (no. 3449) disebutkan: “Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin yang lain. Maka tidaklah halal baginya menawar barang yang telah dibeli oleh saudaranya dan tidak halal pula baginya meminang wanita yang telah dipingan oleh saudaranya hingga saudarnya meninggalkan pinangannya (membatalkan).” Perkara ini merugikan peminang yan gpertama, di mana bisa jadi pihak wanita meminta pembatalan pinagannya disebabkan si wanita lebih menukai peminang kedua. Akibatnya, terjadi permusuhan di ntara sesame muslim dan pelanggaran hak. Bila peminang pertama ternyata ditolak atau peminang pertama mengizinkan peminang kedua untuk melamar si wanita,atau peminang pertama membatalkan pinagnanya maka boleh bagi peminang kedua untuk maju. (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/252) Setelah pinangan diterima tentunya ada kelanjutan pembicaraan, kapan akad nikah akan dilangsungkan. Namun tidak berarti setelah peminagan tersebut, si lelaki bebas berduaan dan berhubungan dengan si wanita. Karena selama belum akad, keduanya tetap ajnabi. Sehingga janganlah seorang muslim bermudah-mudahan dalam hal ini. (Fiqhun Nisa fil Khithbah waz Zawaj, hal. 28) Jangankan duduk bicara berduaan, bahkan ditemani mahram si wanita pun masih dapat mendatangkan fitnah. Karenanya ketika Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dimintai fatwa tentang seorang lelaki yang telah meminang seorang wanita. Kemudian di hari-hari setelah peminangan, ia biasa bertandang ke rumah si wanita, duduk sebentar bersamanya dengan didampingi mahram si wanita dalam keadaan si wanita memakai hijab yang syar’i. Lalu berbincanglah si lelaki dengan si wanita. Namun pembicaraan mereka tidak keluar dari pembahasan agama ataupun bacaan Al-Qur’an. Lalu apa jawaban Syaikh rahimahullah ? Beliau ternyata berfatwa, “Hal seperti itu tidak sepantasnya dilakukan. Karena, perasaan pria bahwa wanita yang duduk bersamanya telah dipinangnya secara umum akan membangkitkan syahwat. Sementara bangkitnya syahwat kepada selain istri dan budak perempuan yang dimiliki adalah haram. Sesuatu yang mengantarkan kepada keharaman, hukumnya haram pula.” (Fatawa Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin, 2/748) Yang Perlu Diperhatikan oleh Wali Ketika wali si wanita ddatnagi oeh lelaki yang hendak meminang si wanita atau ia hendak menikahkan wanita yang di bawah perwaliannya, seharusnya ia memerhatikan perkara berikut ini: -Memilihkan suami yang shalih dan bertakwa.
Bila yang datang kepadanya lelaki yang demikian dan si wanita yang di bawah perwaliannya juga menyetujui maka hendaknya ia menikahkannya karena Rasulullah pernah bersabda:
“Apabila datang kepada kalian (para wali) seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya (untuk meminang wanita kalian) maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melkaukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Al-Imam Al-Albani dalam Al-Irwa’ no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022) -Meminta pendapat putrinya/wanita yang di bawah perwaliannya dan tidak boleh memaksanya. Persetujuan seorang gadis adalah dengan diamnya karena ia malu. Abu Hurairah berkata menyampaikan hadits Rasulullah: “Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah ! Bagaimana izinnya seorang gadis ?” Izinnya dengan ia diam.” Jawab Beliau. (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458)

4. AKAD NIKAH

Akad nikah adalah perjanjaian yang berlangsung antar dua pihak yang melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah penyerahn dari pihak pertama. Sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua. Ijab dari pihak wali si perempuan dengan ucapannya, misalnya: “Saya nikahkan anak saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.” Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya, misalnya: “Saya terima nikahnya anak Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.” Sebelum dilangsungkannya akad nikah, disunnahkan untuk menyampaikan khutbah yang dikenal dengan khutbatun nikah atau khutbatul hajah.

5. WALIMATUL ‘URS
Bagi yang berpandangan bahwa melangsungkan walimah ‘urs hukumnya sunnah (menurut sebagian besar ahlul ilmi), menyelisihi pendapat sebagian mereka yang mengatakan wajib. Karena adanya perintah Rasulullah kepada Abdurrahman bin Auf ketika mengabarkan kepada beliau bahwa dirinya telah menikah: “Selenggarakanlah walimah walaupn dengan hanya menyembelih seekor kambing.” (HR. Al-Bukhari no. 5167 dan Muslim no. 3475) Rasulullah sendiri menyelenggarakan walimah ketika menikahi istri-istrinya seperti dalam hadits Anas disebutkan: “Tidaklah Nabi menyelenggarakan walimah ketika menikahi istri-istrinya dengan sesuatu yang seperti beliau lakkukan ketika walimah dengan Zainab. Beliau menyembelih kambing untuk acara walimahnya dengan Zainab.” (HR. Al-Bukahri no. 5158 dan Muslim no. 3489) Walimah bisa dilakukan kapan saja. Bisa setelah dilangsungkannya akad nikah dan bisa pula ditunda beberapa waktu sampai berakhirnya hari-hari pengantin baru. Namun disengani tiga hari setelah dukhul, karena demikian yang dinukilkan dari Nabi. Anas bin Malik berkata, “Nabi menikah dengan Shafiyyah dan beliau jadikan kemerdekaan Shafiyyah sebagia maharnya. Beliau mengadalkan walimah tiga hari kemudian.” (Al-Imam Al-Albani berkata dalam Adabuz Zaaf hal. 74: “Diriwaytkan Abu Ya’la dengan sanad yang hasan sebagaimana dalam Fathul Bari (9/199) dan ada dalam Shahih Al-Bukhari secara makna.”) Hendaklah yang diundang dalam acara walimah tersebut orang-orang yang shalih. Tanpa memandang dia orang kaya atau orang miskin. Karena kalau yang dipentingkan hanya orang kaya ementara orang miskinnya tidak diundang maka makanan walimah tersebut terangggap sejelek-jelek makanan. Rasulullah bersabda: “Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah di mana yang diundang dalam walimah tersebt hanya orang-orang kaya sementara orang-orang miskin tidak diundang.” (HR. Al-Bukhari no. 5177 dan Muslim no. 3507) Pada hari pernikahan in idisunnahkan menabuh duff (sejenis rebana kecil, tanpa keping lgam di sekelilingnya –yang menimbulkan suara gemerincing-) dalam rangka mengumumkan kepada khalayak akan adanya pernikahan tersebut. Rasulullah bersabda: “Pemisah antar apa yang halal dan yang haram adalah duff dan shaut (suara) dalam pernikahan.” (HR. An-Nasa’i no. 3369, Ibnu Majah no. 1896. dihasankan Al-Imam Al-Albani dalam Al-Irwa’ no. 1994) Adapun makna shaut di sini adalah pengumuman pernikahan, lantangnya suara dan penyebutan/pembicaraan tentang pernikahan tersebut di tengah manusia. (Syarhus Sunnah, 9/47-48) Al-Imam Al-Bukhari menyebutkan satu bab dalam Shahih-nya, “Menabuh duff dalam acara pernikahan dan walimah” dan membawakan hadits Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz yang mengisahkan kehadiran Rasulullah dalam pernikahannya. Ketika itu anak-anak perempuan memukul duff sembari merangkai kata-kata menyenandungkan pujian untuk bapak-bapak mereka yang terbunuh dalam perang Badr, sementara Rasulullah mendengarkannya. (HR. Al-Bukhari no. 5148) Dalam acara pernikahan ini tidak boleh memutar nyanyian-nyanyian batil atau memainkan alat-alat musik. Karena semua itu hukumnya haram.
Disunnahkan bagi yang menghadiri sebuah pernikahan untuk mendoakan kedua mempelai dengan dalil hadits Abu Hurairah, ia berkata:
“Adalah Nabi bila mendoakan seseorang yang menikah, beliau mengatakan: Semoga Allah memberkahi untukmu dan memberkahi atasmu serta mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.” (HR. At-Tirmidzi no. 1091, dishahihkan Al-Imam Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)

6. SETELAH AKAD
Ketika mempelai lelaki telah resmi menjadi suami mempelai wanita, lalu ia ingin masuk menemui istrinya maka disengani baginya untuk melakukan bebrapa perkara berikut ini:
Pertama: Bersiwak terlebih dahulu untuk membersihkan mulutnya karena dikhawatirkan tercium aroma yang tidak sedap dari mulutnya. Demikian pula si istri, hendaknya melakukan yang sama. Hal ini lebih mendorong kepada kelanggengan hubungan dari kedekatan di antara keduanya. Didapatkan dari perbuatan Rasulullah, beliau bersiwak bila hendak masuk rumah menemui istrinya. Sebagaiman berita dari Aisyah (HR. Muslim no. 590). Kedua: Disengani baginya untuk menyerahkan mahar bagi istrinya sebagaimana disebutkan dalam masalah mahar dari hadits Ibnu ‘Abbas. Ketiga: Berlaku lemah lembut kepada istrinya, dengan semisal memberinya segelas minuman ataupun yang semisalnya berdasarkan hadits Asma bintu Yazid bin As-Sakan, ia berkata, “Aku mendandani Aisyah untuk dipertemukan dengan suaminya, Rasulullah untuk melihat Aisyah. Beliau pun datang dan duduk di samping Aisyah. Lalu didatangkan kepada beliau segelas susu. Beliau minum darinya kemudian memberikannya kepada Aisyah yang memberikannya kepada Aisyah yang menunduk malu.” Asma pun menegur Aisyah, “Ambillah gelas itu dari tangan Rasulullah. Aisyah pun engambilnya dan meminum sedikit dari susu tersebut…” Keempat: Mendoakan keberkahan bagi istrinya. Sebagaimana yang dipesankan Rasulullah: “…maka hendaklah ia memegang ubun-ubunnya, menyebut nama Allah, mendoakan keberkahan dan mengatakan: “Ya Allah, aku meminta kepada-Mu dari kebaikannya dan kebaikan apa yang Engkau ciptakan/tabiatkan dia atasnya dan aku belindung kepada-Mu dari kejelekannya dan kejelekan apa yang Engkau ciptakan /tabiatkan dia atasnya.” (HR. Abu Dawud no. 2160, dihasankan Al-Imam Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud) Kelima: Ahlul ‘ilmi ada yang memandang setelah dia bertemu dan mendoakan istrinya disenangi baginya untuk shalat dua rakaat bersamanya. Hal ini dinukilkan dari atsar Abu Sa’id maula Abu Usaid Malik bin Rabi’ah Al-Anshari. Ia berkata: “aku menikah dalam keadaan aku berstatus budak. Aku mengundang sejumlah sahabat Nabi, di antar mereka ada Ibnu Mas’ud , Bu Dzar, dan Hudzaifah. Lalu ditegakkan shalat, majulah Abu Dzar untuk mengimani. Namun orang-orang menyuruhku agar aku yang maju. Ketika aku menanyakan mengapa demikian, mereka menjawab memang seharusnya demikian. Aku pun maju mengimami mereka dalam keadaaan aku berstatus budak. Mereka mengajariku dan mengatakan, “Bila engkau masuk menemui istrimu, shalaltlah dua rakaat. Kemudian mintalah kepada Allah dari kebaikannya dan berlindunglah dari kejelekannya. Seterusnya, urusanmu dengan istrimu…” (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, demikian pula Abdurrazzaq. Al-Imam Al-Albani berkata dalam Adabuz Zafaf hal. 23, “Sanadnya shahih sampai ke Abu Sa’id”). Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Jumat, 07 Mei 2010

FIQIH JUAL BELI


Secara etimologi adalah mengambil dan memberikan sesuatu. Adapun secara istilah syari’at yaitu : “menukar harta walaupun dalam tanggungan atau dengan manfaat yang mubah bukan ketika dibutuhkan dengan yang semisal, untuk dimiliki selama-lamanya bukan riba bukan pula hutang piutang”.

Penjelasan definisi

(menukar harta) yang dimaksud dengan harta disini adalah setiap benda yang mubah dimanfaatkan bukan dalam keadaan hajat seperti emas, perak, gandum, kurma, garam, kendaraan, bejana, harta diam dan lain-lain.

(walaupun dalam tanggungan) maknanya bahwa ‘aqad terkadang terjadi dengan sesuatu yang tertentu dan terkadang dengan sesuatu yang dalam tanggungan. Contoh bila engkau berkata :” Aku beli bukumu dengan bukuku ini “. Ini dengan sesuatu tertentu. Tapi bila engkau berkata :” Aku beli bukumu dengan harga sepuluh ribu “. Maka ini dengan sesuatu dalam tanggungan. Masuk pula dalam definisi ini menjual sesuatu dalam tanggungan dengan sesuatu dalam tanggungan seperti engkau berkata :” Aku beli gula satu kilo dengan harga sepuluh ribu “. Lalu si pedagang pergi untuk menakar gula, dan engkau mengambil uang dari saku dan membayarnya.

(atau dengan manfaat yang mubah) maknanya atau menukar harta dengan manfaat yang mubah, seperti membeli manfaat jalan setapak milik orang lain untuk lalu lalang. Keluar dari definisi ini manfaat yang haram seperti alat alat musik dan sebagainya.

(bukan ketika dibutuhkan) keluar darinya barang yang boleh dimanfaatkan ketika dibutuhkan, seperti boleh makan bangkai ketika kelaparan, maka bangkai haram diperjual belikan karena manfaatnya mubah ketika dibutuhkan saja.